Kami langsung berteman sejak pertama kali bertemu, kemudian ditakdirkan terdaftar di kelas yang sama dan menjadi sahabat yang saling melengkapi satu dengan yang lain.
Rima anaknya keren, cantik, pintar dan memiliki banyak akal. Dia selalu tahu bila aku dalam kondisi bete atau dalam kondisi senggol bacok, istilah Rima.
Dia selalu mengatakan bahwa wajah imutku ini ibarat buku yang terbuka.
"Kebaca banget".
Dan itu juga jadi salah satu hiburan untuk menambah kadar beteku bila aku sedang kesal karena ada teman yang usil dan membuat suasana hatiku yang suram menjadi makin suram, dan dia bisa tertawa bahagia.
"Dian, senyum dong. Mana senyum manis manjanya?" Rima mengering geli menatap wajahku lekat. Aku cemberut.
"Kok malah cemberut. Yang cemberut nanti ditemani..."
"Ditemani siapa?" semburku ditambah ketus level lima.
"Cieee..." Rima malah menggoda. Bikes banget. Aku diam.
"Ehem. Dian kok diam" Rima pura-pura memecahkan kesunyian di tengah riuhnya kelas di istirahat kedua.
"Dian," panggilnya. Aku diam menahan diri.
"Dian," panggilnya lagi. Aku konsisten tidak mau membahas apapun sekarang.
"Dian," Rima berbisik. Duh, bisa nggak dia nggak ganggu.
"Dian.... Woi.... Nyahut dong".
" Rima ngapain deh. Bikin kaget. Kamu ini manggil atau pengumuman di toa. Noh lihat pada ngeliatin!"
"Biarin, siapa suruh tidak nyahut dipanggil dan tidak mau bilang apa yang bikin kamu bad mood setelah sholat tadi. Mestinya setelah sholat itu hati terasa tenteram. Bukan bete!"
Nih orang kayaknya aja lagi tunggu orang curhat, tapi malah ceramah. Tapi lebih baik dia ceramah daripada dia mengorek masalahku sekarang. Aku belum siap.
"Maaf ustadzah, tadi kurang khusyu sholatnya. Habis kamunya enggak sholat," aku mencoba menggunakan keahlianku dalam mengalihkan fokus Rima yang sering kali berhasil, sampai pada waktunya tiba aku ceritakan masalah yang sebenarnya. Tapi tidak sekarang. Tidak di sekolah.
Komentar
Posting Komentar