Langsung ke konten utama

Cerpen

 

Mentari pagi ini belum menghangati pekarangan. 
Mmm, nikmatnya rehat sejenak dari aktifitas rutin. 
Melenturkan otot dan menghilangkan lelah di hari yang masih pagi. 
Menghirup udara segar dalam-dalam menyambut hangatnya mentari.

Lari-lari kecil di tempat sambil menggerakkan kepala ke kanan dan ke kiri dua hitungan bergantian, lalu ke bawah dan ke atas dengan irama yang sama. Menggerakkan tangan di depan dada dua hitungan dan merentangkannya dalam jumlah yang sama, lalu …

“Ma, ini jawabannya apa?” Ana berteriak dari dalam rumah. Tidak kujawab dan tetap melanjutkan gerakan peregangan.

“Ma, ini bagaimana?” Ana mengulangi pertanyaanya. Hmm. Aku pun bersiap untuk ‘beraksi' menunggu dia datang menghampiri. Aku masih belum berniat menanggapi pertanyaannya.

“Maaa…,” rengeknya mendekat menghampiri. “Ini gimanaaa?” Aku menarik nafas pelan-pelan dan menghembuskannya pelan-pelan juga.

Bukan bermaksud untuk mengeluh, tetapi tidakkah Ana melihat apa yang sedang dilakukan mamanya. Ana tidak seharusnya berteriak seperti tadi. Seharusnya dia juga bisa kok mengerjakannya sendiri. Catat, kalau Ana mau. Jadi, masalahnya Ana selalu begitu, meminta bantuan untuk menyelesaikan tugas di kala malasnya muncul.

“Maaa….,” Ana kembali merengek dan mempengaruhi untuk mengikuti kehendaknya.

“Ayo masuk!” aku agak sedikit keras mengajaknya masuk.

“Em, tapi mendingan kita duduk di sana aja deh. Yuk,” usulku.

“Iya Ma. Asyiiik” Ana senang dan tetap dengan gaya cerianya. Tidak terpengaruh dengan aku yang bete. Kami pun berdampingan menuju bangku yang ada di dekat pohon jambu yang rindang. Kugandeng dia dan kucium pucuk kepalanya. Kurasakan suatu sensasi yang selalu dapat meredakan amarah.

Menahan nafas, memikirkan apa yang harus kukatakan agar Ana mengerti dan aku tidak terbawa emosi. Wangi rambutnya pun menguar ketika kuciumi kepalanya lagi. Syaraf kaku pun merenggang. Hatiku melunak. Ada sedih mendera mengingat tadi aku nyaris memarahinya. Perih, betapa aku belum bisa sabar dalam menghadapi masalah yang sebenarnya tidak berat.

“Maafkan Mama Nak” rintihku dalam hati sambil kuusap kepalanya. Lagi dan lagi kucium pucuk kepalanya yang menguarkan semerbak wangi kasih sayang.

“ Ih, Mama ngapain,” protes Ana seraya memberontak ingin melepaskan diri ketika aku tidak juga berhenti mencium pucuk kepalanya. Menciumi rambutnya merupakan kesukaanku bila dekat dengan Ana, dan Ana sering kali protes kalau aku melakukannya berkali-kali.

“Geli tahu Ma. Nih, aku balas cubit nih. Mama kok malah ganggu aku" Ana pun menyerangku dengan cubitan-cubitan yang sering membuatku meringis.

" Mau lagi?" ancamnya, dan bersiap hendak melancarkan cubitan bertubi kebiasaannya. "

"Ampun nggak?" malah dia yang mengancam. Duh, kamu itu anak mama banget.

"Iya ampun. Udah-udah. Nggak boleh gitu sama Mama!" kulancarkan nada serius untuk menghambat serangannya.

" Makanya. Mama jangan suka gangguin aku!" Lho malah aku yang dibilang mengganggu. Nggak salah?

"Ayo ah Ma, cepat bantu bereskan tugas ini. Nggak akan beres tugas Ana kalau main-main terus”.

 *****

Bersambung...

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Revisi Karya Penulis

BERSAMA PENULIS PUISI DAN CERPEN SMA NEGERI 4 SUKABUMI (Belajar merevisi karya)   Pada hari Kamis dan Jumat tanggal 30 September dan 1 Oktober 2021 50 penulis puisi dan 50 penulis cerpen SMAN 4 Sukabumi berkumpul untuk membaca kembali karya yang dibuat oleh penulis yang bersangkutan. Kegiatan dibagi menjadi 5 sesi agar tidak melanggar protokol kesehatan yang berlaku. Beberapa penulis tidak hadir karena memiliki alasan. Bagi yang tidak dapat hadir penulis berkomunikasi dengan pembimbing melalui WA. Temuan-temuan dalam kegiatan ini adalah 1.       Typo kata, diperbaiki oleh penulis yang bersangkutan. 2.       Merapikan karya, dilakukan oleh penulis yang bersangkutan dengan bimbingan. 3.       Melengkapi biodata bagi penulis yang belum mencantumkan biodatanya. Semoga kegiatan ini menjadi jalan bagi mereka dalam berkarya serta memberikan pengalaman yang berharga bagi mereka. Sukabumi, 1 Oktober 2021 Dwi Pratiwi

Resume Pertemuan Ke-18

Pertemuan                 : ke-18 Gelombang                 : 20 Hari, tanggal              : Jumat, 20 Agustus 2021 Waktu                         : 19.00 s.d. selesai Moderator                 : Bu Kanjeng Nara sumber              : Yulius Roma Patandean, S.Pd. Tema                          : Langkah Menyusun Buku Secara Sistematis   “Wa alaikum salam. Ya, Halo. Siap,” singkat saja kujawab deringan telepon dari teman yang sangat konsisten bertanya tentang materi yang kudapat dalam pelatihan. Hari ini Jumat, tanggal 20 Agustus 2021 merupakan pertemuan ke-18 Pelatihan Menulis PGRI untuk Gelombang 19 dan 20. Aku tergabung di gelombang 20 yang diisi oleh pejuang pencari ilmu dan celah untuk dapat menerbitkan buku yang kelak akan meramaikan literasi di tanah air.  Narasumber hari ini adalah Bapak Yulius Roma Patandean, S.Pd. yang akan didampingi Bu Kanjeng sebagai moderator. Kubuka saluran informasi kegiatan dan Bu Kanjeng sudah menyapa, ” Assalamualaikum  wr wb. Salam sejahtera  Bapak Ibu

Tempe Goreng

Jam di dinding sudah menunjukkan jam 1 siang, di dapur tampak Mama dan Tiwi sibuk menyiapkan makan siang spesial buat keluarga Om Rafly yang baru tiba di Indonesia kemarin. Di luar terdengar celoteh dan gelak para bocil terdengar. Anak-anak memang kuat, Rio dan Dimas tak lelah berkejaran dengan Salwa dan Andre. Sementara itu, Kakek dan Nenek berbincang dengan Om Rafly dan Tante Rina. Om Rafly kangen tempe, katanya. Selalu begitu, sehingga tanpa diminta pun tempe goreng menjadi bagian dari menu yang disiapkan untuk makan siang hari ini. Om bilang. Pernah juga sih beberapa kali membeli tempe di sana. Tetapi, rasanya akan berbeda bila dinikmati bersama keluarga di tanah air. Tiwi teringat sepenggal kisah tentang Khoirul Azzam terdapat dalam buku “Ketika Cinta Bertasbih” karya Habiburrahman. Ketika Azzam bercakap-cakap dengan Pak Ali. “Ayah saya wafat saat saya baru satu tahun kuliah di Mesir. Saya punya tiga adik. Semuanya perempuan. Saya tidak ingin pulang dan putus kuliah di tengah jala