Mentari pagi ini belum menghangati pekarangan.
Mmm, nikmatnya rehat
sejenak dari aktifitas rutin.
Melenturkan otot dan menghilangkan lelah di
hari yang masih pagi.
Menghirup udara segar dalam-dalam menyambut hangatnya
mentari.
Lari-lari kecil di tempat sambil menggerakkan kepala
ke kanan dan ke kiri dua hitungan bergantian, lalu ke bawah dan ke atas dengan irama
yang sama. Menggerakkan tangan di depan dada dua hitungan dan merentangkannya
dalam jumlah yang sama, lalu …
“Ma, ini jawabannya apa?” Ana berteriak dari dalam
rumah. Tidak kujawab dan tetap melanjutkan gerakan peregangan.
“Ma, ini bagaimana?” Ana mengulangi pertanyaanya.
Hmm. Aku pun bersiap untuk ‘beraksi' menunggu dia datang menghampiri. Aku masih belum berniat
menanggapi pertanyaannya.
“Maaa…,” rengeknya mendekat menghampiri. “Ini
gimanaaa?” Aku menarik nafas pelan-pelan dan menghembuskannya pelan-pelan juga.
Bukan bermaksud untuk mengeluh, tetapi tidakkah Ana
melihat apa yang sedang dilakukan mamanya. Ana tidak seharusnya berteriak
seperti tadi. Seharusnya dia juga bisa kok mengerjakannya sendiri. Catat, kalau
Ana mau. Jadi, masalahnya Ana selalu begitu, meminta bantuan untuk menyelesaikan
tugas di kala malasnya muncul.
“Maaa….,” Ana kembali merengek dan mempengaruhi untuk mengikuti
kehendaknya.
“Ayo masuk!” aku agak sedikit keras mengajaknya masuk.
“Em, tapi mendingan kita duduk di sana aja deh. Yuk,” usulku.
“Iya Ma. Asyiiik” Ana senang dan tetap dengan gaya cerianya. Tidak terpengaruh dengan aku yang bete. Kami pun berdampingan menuju bangku yang ada
di dekat pohon jambu yang rindang. Kugandeng dia dan kucium pucuk kepalanya. Kurasakan suatu sensasi yang selalu dapat meredakan amarah.
Menahan nafas, memikirkan apa yang harus kukatakan
agar Ana mengerti dan aku tidak terbawa emosi. Wangi rambutnya pun menguar ketika kuciumi kepalanya lagi. Syaraf kaku pun merenggang. Hatiku melunak. Ada sedih mendera mengingat tadi aku
nyaris memarahinya. Perih, betapa aku belum bisa sabar dalam menghadapi masalah
yang sebenarnya tidak berat.
“Maafkan Mama Nak” rintihku dalam hati sambil kuusap
kepalanya. Lagi dan lagi kucium pucuk kepalanya yang menguarkan semerbak wangi kasih sayang.
“ Ih, Mama ngapain,” protes Ana seraya memberontak ingin
melepaskan diri ketika aku tidak juga berhenti mencium pucuk kepalanya. Menciumi rambutnya merupakan kesukaanku bila dekat dengan Ana, dan Ana sering kali protes kalau aku melakukannya berkali-kali.
“Geli tahu Ma. Nih, aku balas cubit nih. Mama kok malah ganggu aku" Ana pun menyerangku dengan cubitan-cubitan yang sering membuatku meringis.
" Mau lagi?" ancamnya, dan bersiap hendak melancarkan cubitan bertubi kebiasaannya. "
"Ampun nggak?" malah dia yang mengancam. Duh, kamu itu anak mama banget.
"Iya ampun. Udah-udah. Nggak boleh gitu sama Mama!" kulancarkan nada serius untuk menghambat serangannya.
" Makanya. Mama jangan suka gangguin aku!" Lho malah aku yang dibilang mengganggu. Nggak salah?
"Ayo ah Ma, cepat bantu bereskan tugas ini. Nggak akan beres tugas Ana kalau main-main terus”.
Bersambung...
Mantap Bu Dwi,lanjutkan
BalasHapus