Jam di dinding sudah menunjukkan
jam 1 siang, di dapur tampak Mama dan Tiwi sibuk menyiapkan makan siang spesial
buat keluarga Om Rafly yang baru tiba di Indonesia kemarin. Di luar
terdengar celoteh dan gelak para bocil terdengar. Anak-anak memang kuat, Rio
dan Dimas tak lelah berkejaran dengan Salwa dan Andre. Sementara itu, Kakek
dan Nenek berbincang dengan Om Rafly dan Tante Rina.
Om Rafly kangen tempe, katanya. Selalu begitu, sehingga tanpa diminta pun tempe goreng menjadi bagian dari menu
yang disiapkan untuk makan siang hari ini.
Om bilang. Pernah juga sih
beberapa kali membeli tempe di sana. Tetapi, rasanya akan berbeda bila
dinikmati bersama keluarga di tanah air.
Tiwi teringat sepenggal kisah
tentang Khoirul Azzam terdapat dalam buku “Ketika Cinta Bertasbih” karya
Habiburrahman. Ketika Azzam bercakap-cakap dengan Pak Ali.
“Ayah saya wafat saat saya baru
satu tahun kuliah di Mesir. Saya punya tiga adik. Semuanya perempuan. Saya
tidak ingin pulang dan putus kuliah di tengah jalan. Maka satu-satunya jalan
adalah saya harus bekerja keras di sini. Jadi itulah kenapa saya sampai jualan
tempe, jualan bakso, dan membuka jasa katering." Pak Ali kagum mendengar
penuturan Azzam.
Mama sudah tahu apa yang harus
disiapkan karena ini adalah pengulangan yang selalu terjadi. Obat rindu, kata Om. Om pernah cerita bahwa menikmati tempe di sana menjadi pengobat rindu
pada keluarga.
"Ayo pindah ke ruang makan! Tolong
panggilkan anak-anak biar makan bareng," ajak Mama.
"Siap," Andre sepupu
Tiwi sigap. Mereka pun menikmati makan bersama yang dilengkapi tempe goreng
yang dikangeni Paman.
Sukabumi, 18 September 2021
Dwi Pratiwi
Aku suka tempe
BalasHapusJadi cerpen mantap
BalasHapusAkhirnya Om rafly bisa makan tempe goreng di rumah bu Dwi. Tulisannnya hebat. lanjutkan bu dwi menjadi novel.,. judulnya saya beri "Nikmatnya makan tempe goreng" Ha ha ha ha haaaa
BalasHapusWoow. Jadi cerpen. ....keren👍
BalasHapusCerita yang menarik.
BalasHapusKeren
Kereen slalu bunda 🙏🏻🤩🤩
BalasHapus