Langsung ke konten utama

Soto dalam Kenangan

Soto Ayam Kuning dan Soto dalam Kenangan

“Ma, ayamnya mau dimasak apa? Apa mau diungkep saja seperti biasa atau disayur?”

“Hmm, gimana kalau dibuat soto aja. Sudah lama juga tidak buat soto”.

“ Boleh.”

Setelah percakapan itu aku pun berselancar mencari resep soto ayam, karena aku memang bukan orang yang pintar masak. Kalau ingin menghasilkan makanan yang mendekati aslinya maka harus kugali informasi agar hasilnya sesuai dengan ekspektasi.

Inilah resep yang digunakan dalam membuat soto kemarin.

Bahan

Bumbu halus

Pelengkap

½ ekor ayam kampung

1,5 liter air

3 sdm minyak sayur

1 batang serai, dimemarkan

2 lembar daun salam

2 lembar daun jeruk

 

5 butir bawang putih

3 siung bawang merah

4 butir kemiri

3 cm kunyit

1 cm jahe

½ sdt merica butiran

2 sdm garam

100 gram kol pengganti tauge

100 soun, seduh air panas

2 sdm daun bawang

4 sdm bawang goreng

4 sdm sambal rawit

2 butir jeruk

 

 Cara membuat:

·         Didihkan air,rebus ayam dengan api kecil hingga daging ayam hampir lunak.

·     Tumis bumbu halus Bersama daun jeruk, daun salam, serai dan aduk hingga matang dan harum. Angkat.

·         Masukkan ke dalam rebusan ayan.

·         Rebus dengan api kecil hingga ayam lunak.

·         Angkat ayam, tiriskan hingga kering.

·         Goreng ayam sebentar  hingga bagian luarnya kering. Tiriskan.

·         Suwir daging ayam kasar-kasar.

·         Susun ayam, soun, kol dalam mangkuk saji.

·         Tuangi kaldu panas.

·         Sajikan dengan daun bawang, bawang goreng, sambal rawit dan jeruk..

Ada sepenggal kisah tentang Soto Ayam dalam kenangan. Sepenggal kisah dari hari-hari yang dijalani ketika menuntut ilmu di Bandung jauh dari keluarga.

Di rumah kos tersedia dapur untuk digunakan semua penghuninya. Tetapi, kesibukan dan kemalasan yang sering kali singgah mengakibatkan kami menjadi pemburu aneka makanan sesuai dengan kondisi kantong pada saat itu sebagai anak kos.

Ada kalanya ingin makan yang ‘enak’ ketika kantong masih tebal, dan ada kalanya harus menyesuaikan keinginan sedemikian rupa agar kantong dan perut bisa akur.

Dan wisata pun dilakukan di sekitar Ledeng, Panorama sampai Geger Kalong. Wisata anak kos dari warung nasi yang satu ke warung nasi yang lainnya, dari tenda satu ke tenda lainnya sampai pada suatu titik memutuskan warung nasi dan tenda yang jadi favorit.

Salah satu tenda favorit kami adalah tenda yang menjual pecel lele, ayam goreng, dan aneka soto. Selain harganya sangat bersahabat dengan kantong, satu hal yang menarik adalah kabaikan hati ‘Mas-mas’ penjualnya.

Ketika bekal masih cukup kami memesan dengan santai dan makan di tempat sambal ngobrol dan bersenda guran diselingi 'mengganggu mas’nya. Mas-masnya baik-baik semua. Kejadian yang penuh kenangan ketika bekal menipis aku sering meminta begini, “ Mas, nasinya setengah ya…. Sotonya juga setengah dibungkus. Tapi kuahnya yang banyak ya!” Dan Masnya pun mengangguk dan memberi sekantung soto dengan seharga separuh.

Salah satu kenangan dalam merajut cita-cita.





Komentar

  1. Keren ini lengkap dg cara pembuatannya

    BalasHapus
  2. bener2 cerita masa berjuang penuh kenangan...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya bun. Kalau rajin menulis, mungkin sudah menjadi beberapa buku.

      Hapus
  3. kereeen...sekaligus ngebayangin enaknya tuh soto...👍👍

    BalasHapus
  4. Tulisannya kren, sedikit saran baiknya bahan dan cara penghidangan tulisannya disamakan dengan lainnya. tp tetap ok. semangat

    BalasHapus
  5. Terima kasih Pa. Selalu sehat dan semangat

    BalasHapus
  6. Resepnya bisa di coba nih bu. Good

    BalasHapus
  7. Ceritanya sangat sangat mewakili anak kost bangettt 😁 mantan anak kost angguk² baca inii... Thanks Ibuuuuu 🙏🤗 Oiaa, nemu satu kata yg typo...semoga di cerita selanjutnya no typo² ya Buu 🤗❤️

    BalasHapus
    Balasan
    1. Thank you🙏. Semoga nanti lebih rapi lagi dan no typo.

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Revisi Karya Penulis

BERSAMA PENULIS PUISI DAN CERPEN SMA NEGERI 4 SUKABUMI (Belajar merevisi karya)   Pada hari Kamis dan Jumat tanggal 30 September dan 1 Oktober 2021 50 penulis puisi dan 50 penulis cerpen SMAN 4 Sukabumi berkumpul untuk membaca kembali karya yang dibuat oleh penulis yang bersangkutan. Kegiatan dibagi menjadi 5 sesi agar tidak melanggar protokol kesehatan yang berlaku. Beberapa penulis tidak hadir karena memiliki alasan. Bagi yang tidak dapat hadir penulis berkomunikasi dengan pembimbing melalui WA. Temuan-temuan dalam kegiatan ini adalah 1.       Typo kata, diperbaiki oleh penulis yang bersangkutan. 2.       Merapikan karya, dilakukan oleh penulis yang bersangkutan dengan bimbingan. 3.       Melengkapi biodata bagi penulis yang belum mencantumkan biodatanya. Semoga kegiatan ini menjadi jalan bagi mereka dalam berkarya serta memberikan pengalaman yang berharga bagi mereka. Sukabumi, 1 Oktober 2021 Dwi Pratiwi

Resume Pertemuan Ke-18

Pertemuan                 : ke-18 Gelombang                 : 20 Hari, tanggal              : Jumat, 20 Agustus 2021 Waktu                         : 19.00 s.d. selesai Moderator                 : Bu Kanjeng Nara sumber              : Yulius Roma Patandean, S.Pd. Tema                          : Langkah Menyusun Buku Secara Sistematis   “Wa alaikum salam. Ya, Halo. Siap,” singkat saja kujawab deringan telepon dari teman yang sangat konsisten bertanya tentang materi yang kudapat dalam pelatihan. Hari ini Jumat, tanggal 20 Agustus 2021 merupakan pertemuan ke-18 Pelatihan Menulis PGRI untuk Gelombang 19 dan 20. Aku tergabung di gelombang 20 yang diisi oleh pejuang pencari ilmu dan celah untuk dapat menerbitkan buku yang kelak akan meramaikan literasi di tanah air.  Narasumber hari ini adalah Bapak Yulius Roma Patandean, S.Pd. yang akan didampingi Bu Kanjeng sebagai moderator. Kubuka saluran informasi kegiatan dan Bu Kanjeng sudah menyapa, ” Assalamualaikum  wr wb. Salam sejahtera  Bapak Ibu

Tempe Goreng

Jam di dinding sudah menunjukkan jam 1 siang, di dapur tampak Mama dan Tiwi sibuk menyiapkan makan siang spesial buat keluarga Om Rafly yang baru tiba di Indonesia kemarin. Di luar terdengar celoteh dan gelak para bocil terdengar. Anak-anak memang kuat, Rio dan Dimas tak lelah berkejaran dengan Salwa dan Andre. Sementara itu, Kakek dan Nenek berbincang dengan Om Rafly dan Tante Rina. Om Rafly kangen tempe, katanya. Selalu begitu, sehingga tanpa diminta pun tempe goreng menjadi bagian dari menu yang disiapkan untuk makan siang hari ini. Om bilang. Pernah juga sih beberapa kali membeli tempe di sana. Tetapi, rasanya akan berbeda bila dinikmati bersama keluarga di tanah air. Tiwi teringat sepenggal kisah tentang Khoirul Azzam terdapat dalam buku “Ketika Cinta Bertasbih” karya Habiburrahman. Ketika Azzam bercakap-cakap dengan Pak Ali. “Ayah saya wafat saat saya baru satu tahun kuliah di Mesir. Saya punya tiga adik. Semuanya perempuan. Saya tidak ingin pulang dan putus kuliah di tengah jala